Kasus Dokter Ayu dan Apa Itu Defensive Medicine

Posted by Nanang Niamillah Jumat, 29 November 2013 2 komentar
Defensive Medicine
dokter : pengacara saya ingin berbicara dengan pengacara anda tentang risiko operasi anda nanti

Defensive medicine adalah kondisi di mana dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak akan membahayakan posisinya.

Contoh kasus defensive medicine :

Hasiholan Sipayung wrote:
Defensive medicine !!
(Semoga dapat dimengerti oleh teman2)

dr = dokter

contoh:1
pasien : dok saya sakit kepala,
dr: ok, anda perlu cek darah dulu,
pasien: harus dok?
dr: iya, kalau boleh sekalian foto rontgen.
pasien: ?? sapa tahu sinus ya dok?
dr: benar, lebih baik lagi kalau anda CT-Scan kalau perlu MRI
pasien: sebegitunya dok???
dr: ya, biar pasti bukan tumor atau yg lainnya.
pasien: kasih obat saja dok.
dr: saya kasih, semoga bisa meredakan, tapi ada efek sampingnya loh bla...bla....
pasien: jadi dok?
dr: untuk mncegah efek sampingnya, akan saya beri obat juga, tapi obat ini efek sampingnya bla.. bla....
pasien: efek sampingnya bisa berbahaya dok?
dr: bisa, bila alergi, bahkan kematian.
pasien: serius dok!
dr: saya serius, sapa main2.
pasien: nangis... makin sakit kepala dok.. saya pulang saja dok.
dr: ???

contoh2
dr: dari semua hasil pemeriksaan, anda terkena DBD.
pasien: jadi bagaimana selanjutnya dok??
dr: saya rawat, pasang infus ya.
pasien: ok dok
dr: risiko pemasangan infus bla... bla.... walau tidak kita inginkan bisa berbahaya.
pasien: maksudnya?
dr: bisa ada risiko emboli, saya upayakan terbaiklah, walau sulit diselamatkan.
pasien: jangan infus dok!!!
dr: itu hak anda, nanti bisa pendarahan, gawat juga.
pasien: jadi dok, pasang infus ada resiko emboli, ngak infus bisa perdarahan?
dr: iya, jadi??
pasien: gelaaap dok,

contoh3
org: dok, ada kecelakan, orangnya dah ngak sadar. tolongin dok...
dr: cepat... keluarganya mana? MANA???
org: buat apa dok??
dr: izin
org: mana ketehe dok?
dr: lapor polisi!!!
org: untuk apa??
dr: nyari keluarganya.
org: darurat dok, yg terbaik saja.
dr: terbaik bagi saya belum tentu terbaik menurut dia/keluarga/jaksa. ntar pasal 359 KUHP!!!
org: jadi dok??
dr: kalau begini jgn ke dokter, ke polisi dulu, nyari keluarga.


note: kejadian aslinya ga akan sekoplak cerita di atas, ilustrasi aja supaya mudah dimengerti


Pendahuluan

Kasus yang dialami dokter Ayu dan kedua temannya, diikuti dengan aksi solidaritas dokter-dokter se-Indonesia telah membuka mata kita bahwa era mudahnya pasien menuntut dokter rupanya sudah di depan mata.

Para dokter sebagai objek gugatan tentu mulai memikirkan nasib mereka. Kalau suatu saat mereka dipidanakan, maka bukan hanya mata pencaharian yang hilang, bukan hanya keluarga yang jadi terlantar, tapi juga nama baik yang akan tercemar.

Salah satu respon dokter untuk keamanan diri dan keluarganya adalah dengan cara melakukan defensive medicine, yang intinya adalah dokter baru akan melakukan tindakan di saat dia benar-benar yakin posisinya kuat di mata hukum dan aman dari gugatan. Dalam praktik sehari-harinya ini berarti proses informed consent yang jauh lebih lama, serta pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih banyak dan jauh lebih mahal. Suatu hal yang sebenarnya sangat merugikan pasien apalagi pasien gawat darurat dan yang tidak mampu.




Defensive Medicine


Beberapa dokter sudah mengutarakan niatnya untuk melakukan defensive medicine

Jika PK Ditolak, Dokter Ancam Bertindak Defensive Medicine: 

Jakarta - Para dokter yang tergabung dalam berbagai aliansi yakin peninjauan kembali (PK) kasus dr Ayu dkk akan dikabulkan. Sebab hasil keputusan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) menyatakan mereka tidak bersalah.

Jika PK tersebut tidak dikabulkan, mereka khawatir dunia kedokteran akan semakin suram. Para dokter takut mengambil tindakan medis karena membahayakan posisinya.

"Kalau sampai PK ditolak, kemungkinan dokter akan melakukan defensive medicine," ujar Ketua Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) Frizar Irmansyah dalam konferensi pers di restoran Natrabu, Jl Sabang, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2013).

Defensive medicine adalah kondisi di mana dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak akan membahayakan posisinya.
"Hal ini berpotensi merugikan masyarakat dan negara," katanya.

Menurut Agung, kasus tersebut telah terjadi di negara maju. Defensive medicine di negara-negara tersebut terbukti meningkatkan biaya kesehatan akibat peningkatan biaya pemeriksaan.

"Sekarang siapa yang mau menerima pasien yang sedang kritis dan kemungkinan akan meninggal kalau nanti akhirnya bisa berakhir di penjara," katanya.

Defensive medicine yang dilakukan para dokter tidak hanya berdampak pada pasien namun juga rumah sakit.

"Hasil PK akan menjadi acuan. Jika ditolak dokter akan mengalami kemunduran. Dampaknya tidak hanya merugikan dokter tapi rumah sakit juga," katanya.

"Dokter akan berpikir, daripada saya dituntut biarkan saja pasien mati," tutup Frizar.


Defensive Medicine


Penjelasan lebih dalam mengenai defensive medicine

Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr. Ayu:

Latar Belakang

Dipenjaranya dr. Ayu, Sp.OG merupakan kasus yang sangat hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Kasus ini mendapatkan tanggapan yang sangat luas, baik di pembicaraan dari mulut ke mulut hingga di media maya seperti Kompasiana. Kasus ini juga mendapatkan pandangan beragam, dari positif (masyarakat) hingga negatif (para dokter).

Para dokter (dan koleganya) bereaksi sangat keras terhadap keputusan Makamah Agung ini. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa reaksi para dokter tersebut sangatlah berlebihan. Reaksi tersebut berkisar dari pemakaian pita hitam sampai dengan izin tidak praktek tiga hari untuk turun ke jalan. Hal yang menjadi perhatian dokter adalah keputusan Mahkamah Agung ini dapat menjadi preseden bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan kasus serupa.

Defensive Medicine: Jawaban Dokter Amerika terhadap Kasus dr. Ayu


Dengan adanya hak pasien untuk menggugat dokter, para dokter menimbulkan reaksi tertentu. Reaksi jangka pendek tersebut adalah hal-hal yang disebutkan di atas. Reaksi jangka panjangnya adalah timbulnya dan diterapkannya Defensive Medicine atau Defensive Medical Decision Making (selanjutnya kita sebut dengan DMDM).

Defensive medicine occurs when doctors order tests, procedures, or visits, or avoid high-risk patients or procedures, primarily (but not necessarily or solely) to reduce their exposure to malpractice liability.

(Congressional Office of Technology Assessment, 1994)

Intinya, DMDM bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kasus hukum baik pidana maupun perdata terhadap dokter. DMDM sendiri ada yang bersifat aktif dan bersifat pasif. DMDM aktif meliputi permintaan prosedur tambahan. Sedangkan DMDM pasif meliputi menghindari pasien dengan risiko tinggi untuk menimbulkan kasus hukum.

Active Defensive Medicine (ADM)

ADM meliputi tindakan-tindakan yang bersifat lebih untuk menghindari gugatan hukum. ADM dapat berupa permintaan prosedur yang berlebihan dan pengkakuan informed consents (persetujuan tindakan medis).

Kasus 1: Seorang pasien datang kepada dokter dengan keluhan nyeri dada. Dokter mendiagnosisnya dengan kasus gangguan pencernaan. Dokter tersebut menyarankan untuk mengubah pola makan dan memberinya obat. Akan tetapi, karena ekspresi pasien yang sedemikian rupa, dokter tersebut memiliki pikiran lain untuk melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menghilangkan diagnosis banding penyakit jantung, walaupun diagnosisnya sudah tepat dan pemeriksaan tersebut tidak diperlukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicine untuk menghindari gugatan hukum. Setiap pemeriksaan memiliki spesifisitas dan sensitivitas masing-masing dan memang benar apabila pemeriksaan tersebut dilakukan semua akan menyebabkan diagnosis yang lebih akurat. Akan tetapi, semakin banyak pemeriksaan dilakukan maka pertambahan tingkat keakuratan berkurang, sehingga proses menjadi tidak efisien alias cost effectiveness rendah. Akibatnya, biaya kesehatan akan meningkat. Hal senada juga diungkapkan pada artikel ini. Selain itu, banyaknya pemeriksaan akan mempengaruhi tingkat keselamatan pasien, terutama pada kasus yang dapat menimbulkan disabilitas permanen dan juga peningkatan penggunaan alat pemeriksaan (demand) yang mengakibatkan tarif pemeriksaan naik dan adanya pasien penting yang tidak terlayani. Di Amerika Serikat, perilaku ini telah menghabiskan puluhan juta dollar.

Kasus 2: Seorang pasien kegawatan datang bersama keluarganya kepada dokter di ruang UGD. Pasien tersebut telah mengalami shock hipovolemia dengan tampang tidak sadarkan diri dan tekanan darah 70/50 sehingga membutuhkan transfusi darah segera. Setelah pemeriksaan awal tersebut, dokter melakukan inform-consent panjang lebar yang mencangkup hasil diagnosa, tindakan, dan alternatifnya serta risiko yang ditimbulkan. Setelah inform-consent yang lama selesai, pasien tersebut meninggal dunia akibat shock hipovolemia dan tindakan belum sempat dilakukan.

Pada kasus di atas, dokter tersebut telah melakukan defensive medicine dengan meminta aspek medikolegal dari suatu tindakan. Aspek medikolegal yang diminta oleh dokter tersebut antara lain inform-consent yang terdiri atas inform (pemeriksaan/tindakan yang dilakukan, tujuan, prosedur serta risiko) dan consent. Dokter tersebut bersikukuh untuk aspek medikolegal yang lengkap sehingga tidak dipersalahkan ketika berada di gugatan hukum. Dampak negatif dari hal ini sudah tampak pada kasus. Hal ini diakibatkan oleh kasus dr. Ayu yang didasarkan fakta bahwa klausa emergensi pada peraturan menteri yang jelas ‘melempem’ (tidak berefek) dibandingkan klausa malapraktik yang diatur pada undang-undang kesehatan. Hal ini sebenarnya jelas karena di dalam hukum, peraturan yang lebih tinggi (dalam hal ini UU Kesehatan) akan berprioritas jika bertentangan dengan peraturan di bawahnya (Peraturan Menteri).

Passive Defensive Medicine (PDM)

PDM meliputi aspek menghindari pasien berisiko tinggi melakukan penuntutan. Hal ini bisa dilakukan dengan menghindari secara langsung pasien dengan risiko tinggi dan menghindari bekerja di bagian yang menangani pasien berisiko tinggi. Contoh kasus untuk menghindari secara langsung pasien dengan risiko tinggi adalah sebagai berikut.

Kasus 3: (…dalam era BPJS,) dokter A mengatakan kepada pasien, “Jadi saya sudah menemukan bahwa bapak sebaiknya saya kirim kepada dokter B karena ketiadaaan alat dan pemeriksaan di sini.” Dokter A berkata dalam hati, “…faktor risiko banyak, merokok iya, kurang olahraga iya, konsumsi alkohol iya (…) dari pada saya disuruh tanggung jawab nantinya lebih baik saya berikan ke dokter lain saja.”

Kasus 4: Seorang pasien datang kepada dokter B. Pada saat anamnesis, pasien mengaku berprofesi sebagai *sensor*. Kemudian dokter tersebut berkata, “Maaf. Saya tidak melayani Anda karena kurangnya alat pemeriksaan, Anda dapat pindah mencari dokter lain.” Padahal dokter tersebut menolak karena pasien tersebut terkenal dalam hal memperkarakan dokter.

Kasus 5: Seseorang jatuh di lapangan tidak sadarkan diri. Anda, seorang dokter yang tengah melintas, melakukan pemeriksaan awal dan menemukan bahwa orang tersebut tidak bernapas dan tidak memiliki nadi. Dokter tersebut kemudian berpikir jika dia memberikan bantuan (cardio-pulmonary resuscitation) dan gagal, kemungkinan besar dia akan dituntut. Kemudian dokter tersebut hanya memanggil ambulans tanpa melakukan resusitasi walaupun telah bersertifikat pelatihan kegawatan dalam cardio-respiratori. Korban meninggal sesaat kemudian di perjalanan dengan ambulans.

PDM juga dapat dilakukan dengan menghindari bekerja di bagian yang menangani pasien berisiko tinggi. Tempat yang dianggap berisiko tinggi antara lain Sp.OG (Kebidanan) dan Spesialis Bedah (dan subbagiannya atau yang terkait). Hal ini menyebabkan penurunan peserta program pendidikan spesialis tersebut dan berlanjut kepada kurangnya lulusan/jumlah dokter-dokter spesialis tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan banyak hal seperti lambatnya penanganan, turunnya konsentrasi dokter, dan meningkatkan angka kematian akibat kurangnya kuantitas. (Saya adalah salah seorang yang tidak mau mengambil spesialisasi bedah akibat hal di atas.)

Penutup
Akhir kata, praktik defensive medicine merupakan reaksi jangka panjang atas kasus tuduhan malapraktik yang dilakukan oleh dokter. Defensive medicine memiliki pengaruh yang besar terhadap tenaga kesehatan dan pasien. Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila ada pihak-pihak yang kurang sependapat dengan apa yang saya tulis. Terima Kasih.

Semoga era defensive medicine yang memakan banyak biaya itu ga sampai terjadi. saat ini saja kita sudah kepayahan membiayai bidang kesehatan.

semoga dokter dan pasien bisa saling menghargai.
maju terus bidang hukum dan kesehatan Indonesia

sumber:

http://news.detik..com/read/2013/11/...nsive-medicine

http://kesehatan.kompasiana.com/medi...yu-610990.html
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kasus Dokter Ayu dan Apa Itu Defensive Medicine
Ditulis oleh Nanang Niamillah
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://faktaunikmenarik.blogspot.com/2013/11/kasus-dokter-ayu-dan-apa-itu-defensive.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kalo terjadi kejadian seperti itu sih berarti ga perlu lagi ada dokter.

Unknown mengatakan...

Bener, berobat saja ke dukun/TCM/alternatif....Selamat datang era defensive medcine

Posting Komentar

Trik SEO Terbaru support Online Shop Baju Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Fakta Unik dan Menarik.