Sejarah Porstitusi terbesar di Asia Tenggara
Minggu, 24 November 2013
0
komentar
Sejarah Gang Dolly sampai terbesar di Asia Tenggara
Sebagian besar di seluruh negara tepatnya di kota-kota besar ada lokasi prostitusi. Termasuk Indonesia, siapa tak kenal dengan kawasan Dolly yang berada disudut kota Surabaya, Jawa Timur.
Konon, Dolly di lokalisasi pelacuran disebut-sebut yang terbesar se-Asia Tenggara. Betapa tidak, sedikitnya 9.000 lebih pelacur numplek jadi satu di kawasan tersebut. Pria hidung belang kalangan atas hingga bawah tak sulit ditemukan di kawasan Dolly. Tidak hanya penduduk lokal, wisatawan asing pun tak jarang datang ke sini sekadar untuk memuaskan birahi.
Kendati begitu, benar atau tidak, belum ada catatan pembanding resmi dengan kompleks lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk 'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika tempat-tempat lokalisasi di kawasan Surabaya ditutup. Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus human trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly? Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang APBD terbesar setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya, berkisar hingga puluhan miliar rupiah, uang yang masuk dari praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya.
Sumber
(UPDATE)
Perputaran Uang Di Dolly Semalam
Kabar
cukup heboh dari Surabaya, baru-baru ini Pemkot berencana menutup
lokalisasi Gang Dolly pada 2014 nanti. Itupun belum bisa dipastikan
kapan tanggal pasti kawasan lokalisasi yang konon disebut-sebut terbesar
di Asia Tenggara itu bakal dieksekusi.
Penutupan Dolly memang membetot perhatian publik. Sebab diakui atau tidak, Dolly sebagai tempat pelacuran telah menghidupi banyak orang di kawasan itu. Lihat saja, berapa banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) menangguk untung di sana.
Hitung pula berapa banyak pegawai bar, klub malam, dan karaoke bakal kehilangan pekerjaan. Begitu pula dengan ribuan PSK, germo atau mucikari, calo PSK, sampai penjual rokok, pemilik warung kopi, tukang becak, tukang parkir, hingga buruh cuci. Artinya, bila hendak menutup Dolly, pemkot harus berpikir seribu kali.
Konon, perputaran uang di Dolly dalam satu malam bisa mencapai miliaran rupiah. Belum ada yang menghitung pasti, tapi perkiraan angka ada yang menyebut Rp 1 sampai 2 miliar semalam. Perkiraan angka itu bisa jadi benar. Bila anda pernah ke sana pasti melihat ribuan orang menjejali kawasan prostitusi yang membentang kurang lebih sepanjang 500 meter itu.
Deretan parkir, penjual kopi, penjual rokok, hampir pasti tidak pernah sepi di sepanjang jalan tersebut. Begitu juga dengan klub malam dan tempat-tempat karaoke yang selalu dijubeli pengunjung. Itu bila diukur panjang kawasan, padahal kawasan Dolly ini hampir merata masuk ke gang-gang di dalam perkampungan.
Konon, setidaknya terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek hidup di daerah itu, mulai kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setiap malam, sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada ribuan pengunjung.
Kepala Dinas Sosial Pemkot Surabaya Supomo mengatakan, karena tingkat resistensi pasca-penutupan Dolly ini tinggi, maka pemkot masih akan mengkaji lagi rencana penutupan tersebut. "Sekarang baru sebatas sosialisasi, kalau penutupan belum dulu, masih terus dikaji, termasuk dampak sosial dan seberapa tinggi tingkat resistensi penutupan," ujarnya.
Sebelumnya, penutupan Gang Dolly merupakan bagian dari kampanye Pemkot Surabaya menjadikan Kota Pahlawan itu bebas prostitusi. Di bawah komando Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, satu per satu lokalisasi yang ada di Surabaya dimatikan.
Saat ini, setidaknya sudah ada tiga lokalisasi yang ditutup oleh pemkot, yaitu lokalisasi Tambak Ari, Klakah Rejo dan Dupak Bangun Sari. Berikutnya, giliran lokalisasi Sememi, yang berada di daerah Klakah Rejo akan menyusul, dilanjutkan Gang Dolly dan Jarak di Kecamatan Sawahan.
Rencana penutupan lokalisasi Sememi di akhir tahun 2013 ini, diungkap oleh Supomo. Kata dia, di lokalisasi Sememi, terdapat sekitar 250 pekerja seks komersial (PSK) yang siap dipulangkan dan dibekali keterampilan dan uang modal usaha.
Sumber
Nilainya Fantastis
Penutupan Dolly memang membetot perhatian publik. Sebab diakui atau tidak, Dolly sebagai tempat pelacuran telah menghidupi banyak orang di kawasan itu. Lihat saja, berapa banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) menangguk untung di sana.
Hitung pula berapa banyak pegawai bar, klub malam, dan karaoke bakal kehilangan pekerjaan. Begitu pula dengan ribuan PSK, germo atau mucikari, calo PSK, sampai penjual rokok, pemilik warung kopi, tukang becak, tukang parkir, hingga buruh cuci. Artinya, bila hendak menutup Dolly, pemkot harus berpikir seribu kali.
Konon, perputaran uang di Dolly dalam satu malam bisa mencapai miliaran rupiah. Belum ada yang menghitung pasti, tapi perkiraan angka ada yang menyebut Rp 1 sampai 2 miliar semalam. Perkiraan angka itu bisa jadi benar. Bila anda pernah ke sana pasti melihat ribuan orang menjejali kawasan prostitusi yang membentang kurang lebih sepanjang 500 meter itu.
Deretan parkir, penjual kopi, penjual rokok, hampir pasti tidak pernah sepi di sepanjang jalan tersebut. Begitu juga dengan klub malam dan tempat-tempat karaoke yang selalu dijubeli pengunjung. Itu bila diukur panjang kawasan, padahal kawasan Dolly ini hampir merata masuk ke gang-gang di dalam perkampungan.
Konon, setidaknya terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek hidup di daerah itu, mulai kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setiap malam, sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada ribuan pengunjung.
Kepala Dinas Sosial Pemkot Surabaya Supomo mengatakan, karena tingkat resistensi pasca-penutupan Dolly ini tinggi, maka pemkot masih akan mengkaji lagi rencana penutupan tersebut. "Sekarang baru sebatas sosialisasi, kalau penutupan belum dulu, masih terus dikaji, termasuk dampak sosial dan seberapa tinggi tingkat resistensi penutupan," ujarnya.
Sebelumnya, penutupan Gang Dolly merupakan bagian dari kampanye Pemkot Surabaya menjadikan Kota Pahlawan itu bebas prostitusi. Di bawah komando Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, satu per satu lokalisasi yang ada di Surabaya dimatikan.
Saat ini, setidaknya sudah ada tiga lokalisasi yang ditutup oleh pemkot, yaitu lokalisasi Tambak Ari, Klakah Rejo dan Dupak Bangun Sari. Berikutnya, giliran lokalisasi Sememi, yang berada di daerah Klakah Rejo akan menyusul, dilanjutkan Gang Dolly dan Jarak di Kecamatan Sawahan.
Rencana penutupan lokalisasi Sememi di akhir tahun 2013 ini, diungkap oleh Supomo. Kata dia, di lokalisasi Sememi, terdapat sekitar 250 pekerja seks komersial (PSK) yang siap dipulangkan dan dibekali keterampilan dan uang modal usaha.
Sumber
Nilainya Fantastis
Risma: Saya pasti bisa menutup Gang Dolly
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini punya gawe besar. Perempuan nomor satu di Kota Pahlawan ini, bermimpi bisa menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly. Targetnya, tahun 2014, Kota Pahlawan menjadi kota bebas prostitusi.
Bahkan, pekan lalu, di Taman Bungkul, Surabaya, Risma mengkampanyekan program kota bebas prostitusi. Dia punya harapan, kelak generasi muda tak terkontaminasi dengan predikat Surabaya sebagai kota pemilik lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara.
Dia juga berharap dengan mengkampanyekan kota bebas prostitusi juga akan mampu menekan angka kasus trafficking di Kota Surabaya. Dengan merehabilitasi seluruh lokalisasi di Surabaya ini, masa depan anak-anak lebih terpelihara. Mimpi yang mulia.
"Hendaknya, orangtua jangan hanya memikirkan perut saja, masa depan anak-anak harus jadi prioritas. Jangan karena kepentingan perut, bisa merugikan masa depan anak-anak," kata Risma, merdeka.com, Senin (11/11) lalu.
Dia yakin bisa merehabilitasi semua lokalisasi di Surabaya, dengan bantuan gubernur, MUI dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. "Saya sudah tahu caranya. Saya pasti bisa menutupnya," kata Risma saat menghadiri pemulangan PSK di Bangunsari beberapa waktu lalu.
Ide besar Risma ini, bermula pada acara buka puasa di Komando Pendidikan TNI AL (Kodikal) Bumimoro, Surabaya pada tahun 2010 silam. Acara itu dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Abdusshomad Buchori, termasuk Gubernur Jawa Timur, Soekarwo turut hadir.
Di acara itu juga, Abdusshomad Buchori mengkritik semboyan Jawa Timur yang makmur, berakhlak mulia, dalam rangka NKRI, dan APBD untuk rakyat. Menurutnya, semboyan itu tidak cocok, karena Jawa Timur merupakan sarangnya prostitusi, bahkan terbesar se-Asia Tenggara. "Jadi semboyan itu tidak cocok," kritiknya kala itu.
Dan sejak saat itu, Soekarwo mengeluarkan SK No 460/16474/031//2010 tertanggal 30 November 2010. Isinya: Pencegahan dan penanggulangan prostitusi serta human trafficking.
Tak hanya itu, setahun kemudian, Soekarwo kembali mengeluarkan SK No 460/031/2011 pada tanggal 20 Oktober 2011, yang berisi imbauan Jawa Timur harus bebas dari asusila. Bahkan, Soekarwo juga sempat berujar: Suatu pemerintahan tidak akan membawa berkah, selama masih ada prostitusi.
Kedua SK yang dikeluarkan Soekarwo inipun berlanjut pada pertemuan di Hotel Elmi Surabaya pada 19 November 2011. Dan sejak saat itu, pertentangan demi pertentangan terus datang. Sebab, ada keyakinan prostitusi tidak mungkin bisa ditutup, bahkan akan semakin 'liar' jika lokalisasi ditutup. Ibaratnya menekan balon, satu sisi ditekan, sisi yang lain membesar.
"Kalau yang menekan itu semua elemen? Ada gubernur, tokoh agama, politisi, tokoh masyarakat dan elemen-elemen lain ya pasti meletus. Makanya kita bersama-sama melakukan itu," terang Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus saat menghadiri bazar makanan gratis produk eks-PSK Bangunsari, Sabtu (16/11) kemarin.
Yunus juga menjelaskan, teori yang digunakan bukan teori balon seperti yang ditakutkan banyak kalangan. "Melainkan teori memakan bubur panas. Kita ambil tepinya sedikit-demi sedikit, makan akan habis. Kita tidak akan melakukan bedol desa, kita lakukan dengan cara persuasif, manusiawi, dan pembinaan serta sharing dengan berbagai kalangan," bebernya lagi.
Dan proyek 'mega besar' inipun sukses menutup lokalisasi Bangunsari, Tambak Asri dan Klakah Rejo. Selanjutnya, pada Desember mendatang, merambah di lokalisasi Sememi dan dilanjutkan ke Dolly.
Dan inilah di balik kisah, antusias Tri Rismaharini ikut memerangi prostitusi yang melanda kotanya. Mantan Kepala Dinas Pertamanan ini, juga memberi aplaus pihak kepolisian yang berhasil mengungkap kasus trafficking di Kota Pahlawan.
sumber
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini punya gawe besar. Perempuan nomor satu di Kota Pahlawan ini, bermimpi bisa menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly. Targetnya, tahun 2014, Kota Pahlawan menjadi kota bebas prostitusi.
Bahkan, pekan lalu, di Taman Bungkul, Surabaya, Risma mengkampanyekan program kota bebas prostitusi. Dia punya harapan, kelak generasi muda tak terkontaminasi dengan predikat Surabaya sebagai kota pemilik lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara.
Dia juga berharap dengan mengkampanyekan kota bebas prostitusi juga akan mampu menekan angka kasus trafficking di Kota Surabaya. Dengan merehabilitasi seluruh lokalisasi di Surabaya ini, masa depan anak-anak lebih terpelihara. Mimpi yang mulia.
"Hendaknya, orangtua jangan hanya memikirkan perut saja, masa depan anak-anak harus jadi prioritas. Jangan karena kepentingan perut, bisa merugikan masa depan anak-anak," kata Risma, merdeka.com, Senin (11/11) lalu.
Dia yakin bisa merehabilitasi semua lokalisasi di Surabaya, dengan bantuan gubernur, MUI dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. "Saya sudah tahu caranya. Saya pasti bisa menutupnya," kata Risma saat menghadiri pemulangan PSK di Bangunsari beberapa waktu lalu.
Ide besar Risma ini, bermula pada acara buka puasa di Komando Pendidikan TNI AL (Kodikal) Bumimoro, Surabaya pada tahun 2010 silam. Acara itu dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Abdusshomad Buchori, termasuk Gubernur Jawa Timur, Soekarwo turut hadir.
Di acara itu juga, Abdusshomad Buchori mengkritik semboyan Jawa Timur yang makmur, berakhlak mulia, dalam rangka NKRI, dan APBD untuk rakyat. Menurutnya, semboyan itu tidak cocok, karena Jawa Timur merupakan sarangnya prostitusi, bahkan terbesar se-Asia Tenggara. "Jadi semboyan itu tidak cocok," kritiknya kala itu.
Dan sejak saat itu, Soekarwo mengeluarkan SK No 460/16474/031//2010 tertanggal 30 November 2010. Isinya: Pencegahan dan penanggulangan prostitusi serta human trafficking.
Tak hanya itu, setahun kemudian, Soekarwo kembali mengeluarkan SK No 460/031/2011 pada tanggal 20 Oktober 2011, yang berisi imbauan Jawa Timur harus bebas dari asusila. Bahkan, Soekarwo juga sempat berujar: Suatu pemerintahan tidak akan membawa berkah, selama masih ada prostitusi.
Kedua SK yang dikeluarkan Soekarwo inipun berlanjut pada pertemuan di Hotel Elmi Surabaya pada 19 November 2011. Dan sejak saat itu, pertentangan demi pertentangan terus datang. Sebab, ada keyakinan prostitusi tidak mungkin bisa ditutup, bahkan akan semakin 'liar' jika lokalisasi ditutup. Ibaratnya menekan balon, satu sisi ditekan, sisi yang lain membesar.
"Kalau yang menekan itu semua elemen? Ada gubernur, tokoh agama, politisi, tokoh masyarakat dan elemen-elemen lain ya pasti meletus. Makanya kita bersama-sama melakukan itu," terang Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus saat menghadiri bazar makanan gratis produk eks-PSK Bangunsari, Sabtu (16/11) kemarin.
Yunus juga menjelaskan, teori yang digunakan bukan teori balon seperti yang ditakutkan banyak kalangan. "Melainkan teori memakan bubur panas. Kita ambil tepinya sedikit-demi sedikit, makan akan habis. Kita tidak akan melakukan bedol desa, kita lakukan dengan cara persuasif, manusiawi, dan pembinaan serta sharing dengan berbagai kalangan," bebernya lagi.
Dan proyek 'mega besar' inipun sukses menutup lokalisasi Bangunsari, Tambak Asri dan Klakah Rejo. Selanjutnya, pada Desember mendatang, merambah di lokalisasi Sememi dan dilanjutkan ke Dolly.
Dan inilah di balik kisah, antusias Tri Rismaharini ikut memerangi prostitusi yang melanda kotanya. Mantan Kepala Dinas Pertamanan ini, juga memberi aplaus pihak kepolisian yang berhasil mengungkap kasus trafficking di Kota Pahlawan.
sumber
Tolak Gang Dolly ditutup, PSK tuntut Risma lunasi utang mereka
Jam di tangan tunjuk pukul 01.00 WIB, suasana 'pesta' para pria hidung belang dan dengus nafas birahi di lokalisasi Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur belum usai. Dentuman musik karaoke di beberapa wisma di Gang Dolly dan gang-gang lain di Jarak (jalan utama) dan Putat Jaya masih terdengar riuh.
Saat merdeka.com mencoba menggali informasi di kawasan prostitusi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu, perjalanan terhenti di sebuah wisma di Gang Lebar.
Sekadar catatan, dari beberapa gang yang ada di kawasan Jarak dan Putat Jaya, hanya Dolly yang paling populer. Sebab, di lokalisasi yang didirikan noni Belanda, Tante Dolly ini, merupakan cikal bakal berdirinya seluruh lokalisasi yang konon lebih besar dari Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura itu.
Hawa di Kota Pahlawan masih terasa dingin, karena Jumat lalu, Surabaya mulai diguyur hujan. Di tengah dingin dini hari itu, tiba-tiba datang seorang PSK yang mengaku bernama Yanti asal Madura. Dia turun dari motor seorang laki-laki yang diboncengnya.
Dalam kondisi tubuh sempoyongan karena mabuk --bau mulutnya tercium bau alkohol-- dia menghampiri merdeka.com yang tengah duduk santai menikmati minuman untuk sekadar melepas lelah di beranda wisma.
Lalu, iseng-iseng bertanya: "Mbak penghuni wisma ini juga? Asalnya dari mana, sudah punya anak belum?" Dengan mulut yang masih berbau Vodka, dia menjawab dengan suara sedikit berteriak. "Anakku 1.000, bojo (suami) ku 100, trus mau apa?," teriaknya sinis.
Dalam kondisi teler itu, ocehan si PSK berkulit sawo katang ini, menyelinap di antara riuh 'pesta' malam di Gang Lebar. Yanti terus mengomel ke sana-kemari, seolah memaki hidupnya.
Perempuan berambut sebahu, sedikit ikal ini, mengaku bertarif Rp 100 ribu sekali main. Dalam semalam dia bisa melayani lak-laki hidung belang antara 5 sampai 7 orang, bahkan lebih.
"Ngapain juga orang-orang itu pake nutup-nutup tempat ini (lokalisasi)? Emang mereka (pemerintah) mau melunasi utang-utang kita apa? Utangku banyak, utangku segunung," makinya dengan logat Suroboyoan dan tanpa menyebut berapa nominal utangnya kepada si mucikari.
Setelah sesaat ngobrol, Yanti tidak serta merta membiarkan merdeka.com pergi begitu saja. Dia menghadang dan 'merampas' sebungkus rokok yang baru saja dibeli di kios depan wisma.
Kemudian dengan tubuh gontainya karena pengaruh alkohol itu, dia masuk ke dalam wisma dan menghilang di balik dinding bangunan sederhana yang tak jauh beda dengan rumah penduduk itu.
Namun, sebentar lagi, angkuh tembok lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini, hanya tinggal cerita. Sebab, Pemkot Surabaya akan segera merehabilitasi lokalisasi ini, paling lambat tahun 2014, Kota Surabaya sudah harus bebas dari bisnis prostitusi. Apa mungkin Bu Risma?
sumber
Jam di tangan tunjuk pukul 01.00 WIB, suasana 'pesta' para pria hidung belang dan dengus nafas birahi di lokalisasi Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur belum usai. Dentuman musik karaoke di beberapa wisma di Gang Dolly dan gang-gang lain di Jarak (jalan utama) dan Putat Jaya masih terdengar riuh.
Saat merdeka.com mencoba menggali informasi di kawasan prostitusi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu, perjalanan terhenti di sebuah wisma di Gang Lebar.
Sekadar catatan, dari beberapa gang yang ada di kawasan Jarak dan Putat Jaya, hanya Dolly yang paling populer. Sebab, di lokalisasi yang didirikan noni Belanda, Tante Dolly ini, merupakan cikal bakal berdirinya seluruh lokalisasi yang konon lebih besar dari Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura itu.
Hawa di Kota Pahlawan masih terasa dingin, karena Jumat lalu, Surabaya mulai diguyur hujan. Di tengah dingin dini hari itu, tiba-tiba datang seorang PSK yang mengaku bernama Yanti asal Madura. Dia turun dari motor seorang laki-laki yang diboncengnya.
Dalam kondisi tubuh sempoyongan karena mabuk --bau mulutnya tercium bau alkohol-- dia menghampiri merdeka.com yang tengah duduk santai menikmati minuman untuk sekadar melepas lelah di beranda wisma.
Lalu, iseng-iseng bertanya: "Mbak penghuni wisma ini juga? Asalnya dari mana, sudah punya anak belum?" Dengan mulut yang masih berbau Vodka, dia menjawab dengan suara sedikit berteriak. "Anakku 1.000, bojo (suami) ku 100, trus mau apa?," teriaknya sinis.
Dalam kondisi teler itu, ocehan si PSK berkulit sawo katang ini, menyelinap di antara riuh 'pesta' malam di Gang Lebar. Yanti terus mengomel ke sana-kemari, seolah memaki hidupnya.
Perempuan berambut sebahu, sedikit ikal ini, mengaku bertarif Rp 100 ribu sekali main. Dalam semalam dia bisa melayani lak-laki hidung belang antara 5 sampai 7 orang, bahkan lebih.
"Ngapain juga orang-orang itu pake nutup-nutup tempat ini (lokalisasi)? Emang mereka (pemerintah) mau melunasi utang-utang kita apa? Utangku banyak, utangku segunung," makinya dengan logat Suroboyoan dan tanpa menyebut berapa nominal utangnya kepada si mucikari.
Setelah sesaat ngobrol, Yanti tidak serta merta membiarkan merdeka.com pergi begitu saja. Dia menghadang dan 'merampas' sebungkus rokok yang baru saja dibeli di kios depan wisma.
Kemudian dengan tubuh gontainya karena pengaruh alkohol itu, dia masuk ke dalam wisma dan menghilang di balik dinding bangunan sederhana yang tak jauh beda dengan rumah penduduk itu.
Namun, sebentar lagi, angkuh tembok lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini, hanya tinggal cerita. Sebab, Pemkot Surabaya akan segera merehabilitasi lokalisasi ini, paling lambat tahun 2014, Kota Surabaya sudah harus bebas dari bisnis prostitusi. Apa mungkin Bu Risma?
sumber
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sejarah Porstitusi terbesar di Asia Tenggara
Ditulis oleh Nanang Niamillah
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://faktaunikmenarik.blogspot.com/2013/11/sejarah-porstitusi-terbesar-di-asia.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Nanang Niamillah
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar